> Komaruddin: Tegakkan Etika dan Moralitas Aleg, Anggota BK Harus Berani, Tegas dan Tidak Pandang Bulu | Prigibeach Trenggalek

Komaruddin: Tegakkan Etika dan Moralitas Aleg, Anggota BK Harus Berani, Tegas dan Tidak Pandang Bulu

Komaruddin, Kader PKS Trenggalek
Trenggalek (prigibeach.com) – Banyaknya kasus amoral serta  tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme yang dilakukan oleh anggota legeslatif, menyebabkan banyak dari mereka yang sungguh-sungguh menjalankan profesinya sebagai aleg, menjadi gerah.  Bulan April lalu, DPRD Trenggalek telah melaksanakan sidang paripurna  membahas  Peraturan DPRD Kabupaten Trenggalek (1) tentang Kode Etik DPRD Kabupaten Trenggalek, (2) tentang Tata Beracara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Trenggalek, dan (3) Program Legeslasi Daerah Kabupaten Trenggalek.

Menelusuri hasil capaian dari sidang paripurna tersebut, wartawan prigibeach.com mencoba mengoreknya dari salah seorang Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Komaruddin. Dengan fokus materi pada kode etik dan peranan Badan Kehormatan DPR dan DPRD. Komaruddin adalah anggota DPRD Trenggalek yang menjabat sebagai Ketua Badan Legeslatif.
Berikut hasil wawancara yang berlangsung di ruang tamu rumah Komaruddin, Kelurahan Surodakan, Trenggalek, ketika suasana sedang vacum kegiatan, pada hari Selasa, tanggal 7 Juni 2011, pukul 20.00 hingga pukul 22.00 WIB.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami para wartawan Trenggalek sangat tertarik pada materi pengantar yang Anda sampaikan saat paripurna membahas dua Rancangan Peraturan dan Program Legeslasi. Saya pribadi, melihat penampilan Anda begitu antusias dan bersemangat ketika membahas kode etik dan BK.

-    Saya sama sekali tidak merasakan seperti itu. Semuanya berlangsung wajar-wajar saja. Hanya saya yakin, bahwa sehat tidaknya perjalanan perkembangan daerah ini sesungguhnya berawal dan bergantung pada nilai-nilai moral maupun etika yang diimplementasikan anggota legeslatif sebagai penggagas dan pembuat sekaligus pengawal  peraturan perundangan.  Karena menyangkut pribadi anggota, maka BK (BK (Badan Kehormatan DPRD/red) menjadi tumpuan sekaligus piranti utama dalam menegakkan peraturan dan tata tertib dewan.

Mengapa Anda berkeyakinan demikian?

-    Jika ditanya siapakah yang mengawasi moral dan etika anggota Dewan? Pasti kita semua menjawab Badan Kehortmatan. Jika anggota Dewan berperilaku tidak beretika dan tidak bermoral masih terus berkeliaran, siapakah yang perlu dipertanyakan? Saya pikir kita semua setuju jawabannya adalah BK. Peran BK dalam menjaga etika dan moral anggota Dewan sangat penting, sangat vital karena menyangkut fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Hal ini menuntut BK harus aktif, pro-aktif dan tidak pasif. Namun, sayangnya BK kita tidak proaktif dan terkesan lambat dalam menjaga etika anggota Dewan. BK selalu berkelit “menunggu laporan dari masyarakat”.

-    Apabila terjadi demikian, keberadaan BK sebagai pengawas etika dan moral anggota Dewan,  perlu dipertanyakan. Apalagi jika BK ternyata menjadi organ yang pasif. BK menurut saya tidak boleh mentolerir setiap sikap yang tidak beretika dari anggota Dewan.

-    Saya berharap BK bisa jadi pengawas yang aktif dan tegas. Jika tidak maka citra Dewan khususnya DPRD Trenggalek, pasti akan terpuruk. Atau mungkinkah BK sendiri punya etika yang buruk? Nah inilah yang perlu diperhatikan.
Jika demikian, itu artinya tugas BK “istimewa”, dan bisa menjadi hakim untuk memvonis sesama anggota legeslatif?

-    Beratnya tugas dan tanggungjawab Badan Kehormatan memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakkan citra lembaga ini. Pengaturan terkait Badan Kehormatan harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan.

-    Revisi Paket Undang-undang Politik terutama revisi atas Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD dan DPD akan meninjau kembali fungsi, kewenangan dari lembagai perwakilan. Proses ini sangat penting dikawal untuk memastikan perubahan yang berarti dari pelaksanaan kewenangan lembaga perwakilan sekaligus alat kelengkapan yang ada di dalamnya, termasuk Badan Kehormatan.

Apakah Anda menganggap ada yang kurang dari Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 itu?

-    Ketentuan tentang Badan Kehormatan DPR diatur di dalam Undang-undang Susunan Kedudukandan dan Tata Tertib DPR. Pasal 98 UU No. 22 tahun 2003, ayat (2) point (g) mengatur bahwa alat kelengkapan DPR termasuk Badan Kehormatan. Selanjutnya ayat (5) Pasal yang sama disebutkan bahwa pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Lebih lanjut terkait Tata Tertib ini kemudian diatur di dalam Pasal 102 ayat (4) dimana point (f) dan (1) yang mengatur tentang substansi pengaturan di dalam Tata Tertib yang diantaranya melingkupi persoalan pengaduan dan tugas Badan Kehormatan serta kode etik dan alat kelengkapan lembaga.

-    Pengaturan lebih jelas terkait dengan peran, fungsi dan kewenangan alat kelengkapan DPR memang lebih banyak diatur di dalam Tata Tertib. Pengaturan tentang Badan Kehormatan DPR diuraikan pada Bab XIII Pasal 56 sampai dengan Pasal 63 Tata Tertib DPR RI.
-    Saya ambil contoh, Pengaturan Kedudukan ada pada Pasal 56, substansi pengaturannya dibentuk sebagai alat kelengkapan, bersifat tetap. Untuk lembaga bersifat tetap seharusnya menjadi pekerjaan utama dari anggota BK, dus artinya tidak boleh “disambi” (tugas sampingan/red) dengan tugas-tugas lain dalam fraksi maupun sebagai anggota legeslatif di komisi-komisi.

-    Dan masih ada lagi pasal-pasal menyangkut fungsi dan kewenangan BK yang perlu ditinjau kembali. Saya masih belum bisa menyebutnya sekarang, karena memerlukan penelitian dan analisa hukum lebih mendalam.

Apakah dasar hukum dan kewenangannya  sama antara BK DPR-RI dan BK DPRD?

-    Sudah jelas ada perbedaan. Dasar Hukum BK-DPRD: UU 22 tahun 2003 (Pasal. 91,94,98), UU 32 tahun 2004 (Pasal. 46-49), PP 25 tahun 2004 (pasal. 38-40, 43,50-51), PP 53 tahun 2005 (Pasal. 38, 50, 51-51C), Tatib dan Kode etik DPRD.
-    Jumlah 3-5 orang  untuk Kab/kota, 5-7 orang untuk propinsi, proporsional, bersifat tetap, dan komposisinya ditetapkan paripurna, kalau DPR-RI jumlah anggotanya 13 orang.
-    Tugas: evaluasi, penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas aduan.
-    Wewenang: Memanggil anggota (terlapor) dan pelapor/saksi, usulan sanksi (ke paripurna) dan rehabilitasi (pimpinan).
-    Lingkup: disiplin, etika, moral, sumpah/janji, kode etik, dan pelanggaran tatib.
-    Sanksi (oleh paripurna DPRD): Teguran lisan dan tertulis (kepada terlapor), pemberhentian sebagai anggota (sesuai aturan perundangan).
-    Sedangkan mekanismenya berdasarkan PP 53 Tahun 2005

Di manakah permasalahan inti yang sering mendera BK?

-    Permasalahan Terkait Badan Kehormatan di antaranya, banyak pihak, termasuk elemen masyarakat sangat berharap sekali akan independensi dan peran Badan Kehormatan. Hanya saja, kewenangan yang besar Badan Kehormatan ternyata belum mampu memberikan sanksi yang optimal bagi pelanggaran kode etik dan Tata Tertib. Hal inilah yang membuat BK  terlihat tidak cukup optimal dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi yang lain, adanya Badan Kehormatan dan kerja-kerja yang dilakukan selama ini dalam menegakan kode etik belum dapat menimbulkan efek jera bagi anggota DPR yang “nakal”.

Seperti masyarakat ketahui, ada aleg kita yang berbuat tidak senonoh bahkan pernah korupsi dan terjerat kasus hukum, namun seolah tidak pernah digubris oleh BK. Betulkah?

-    Pemimpin dan Badan Kehormatan DPRD harus memberikan perhatian yang serius atas sorotan publik ini karena indikasi tebang pilih dalam penjatuhan sanksi telah memunculkan beragam spekulasi. Akan tetapi perlu dicatat, tidak ada aleg kita yang terjerat dan divonis karena kasus korupsi atau kasus lainnya ketika sedang menjadi aleg. Bila pernah ada yang dihukum, itu adalah vonis atas kasus ketika yang bersangkutan belum menjadi anggota dewan. Secara politik, penerapan sanksi yang berbeda antara kasus yang satu dan yang lainnya akan dipandang diskriminatif.

-    Fungsi BK, sepanjang yang bersangkutan berperkara masih banding masih kasasi itu kan belum tetap seharusnya BK menonaktifkan. Lain lagi kalau anggota DPR sudah divonis bersalah secara hukum. Tentu ada konsekuensi dilakukan PAW oleh partainya. Kalau punya kekuatan hukum yang tetap, BK harus memberhentikan. Kalau sudah bebas maka nama baiknya dipulihkan. Keputusan ini dapat dimaknai sebagai perbedaan perlakuan karena beda partai atau bahkan bisa lebih jauh dari itu, yakni sebagai upaya mendiskreditkan partai tertentu. Oleh sebab itu, BK harus bijaksana dan juga harus menjaga pamor partai yang anggotanya bermasalah. Artinya, BK tetap memberikan sanksi namun barangkali saja masyarakat tidak mengetahui hal ini.

-    Secara prosedural, pemrosesan kasus yang terjadi di Dewan semisal kasus korupsi tatkala sedang menjabat sebagai aleg, BK harus cepat bak menyambut bola –sama saja dengan pemrosesan kasus lain jangan sampai terkesan pasif dan ogah-ogahan meski isunya sudah cukup santer dibicarakan publik. Keaktifan Badan Kehormatan dalam menyikapi isu etis yang ada di DPR secara prosedural masih menjadi hambatan utama. Dan kami sesama aleg pun menyadari akan hal itu.

Ada kasus seorang aleg kita digrudug massa karena disangkakan melanggar etika dan moralitas. Kenapa BK terkesan diam?

-    Badan Kehormatan seharusnya sudah secara aktif menyikapi berbagai laporan justru sebelum hal itu menjadi isu publik dengan mengambil langkah meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Langkah menunggu bola Badan Kehormatan ini sangat kontraproduktif dalam upaya meningkatkan citra DPR yang kian terpuruk. Ketidakaktifan Badan Kehormatan juga sedikit-banyak berperan dalam ikut membiarkan individu anggota Dewan mendapatkan justifikasi kotor di mata publik, meski mungkin saja yang bersangkutan belum tentu melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib atau kode etik Dewan.

-    Ke depan, inisiatif harus lebih sering diambil Badan Kehormatan. Jika perlu, Badan Kehormatan harus memiliki “pasukan” pencari fakta untuk menggali kasus-kasus etis di Dewan. Inisiatif ini dapat diambil karena sebenarnya tidak ada larangan untuk melakukan hal ini di dalam Tata Tertib DPRD maupun DPR-RI  (pasal 60), tapi sebaliknya kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas (pasal 59). Badan Kehormatan bahkan bisa memberikan masukan untuk perubahan Tata Tertib DPR dan DPRD jika dirasa kurang mendukung kerja-kerjanya, apalagi jelas sekali peran Badan Kehormatan dalam upaya meningkatkan citra Dewan di mata publik.

(Pewawancara: Hamzah Abdillah, Pimred Tabloid dan Situs Berita Online Prigibeach.com).

0 Komentar:

Posting Komentar

Bila Anda suka dengan entry blog ini, sudilah menuliskan komentar di sini.
Terimakasih.