Trenggalek, PrigiBeach
Minyak tanah (mitan) di Kabupaten Trenggalek sampai kemarin Minggu (13/9) sejak memasuki Bulan Ramadhan, semakin langka saja. Jika pun ada harganya mencapai Rp 10 ribu perliternya. Sulitnya mitan di daerah ini merata, hampir di semua kecamatan, tidak terkecuali kecamatan Kota. Masyarakat di pedesaan utamanya yang tinggal di lereng-lereng sangat resah, akibatnya mereka harus memakai kayu bakar. Bulan Juni lalu, dropping kompor gas LPG sudah disalurkan pada sebagian warga, namun akibat kurangnya sosialisasi banyak warga yang masih awam tidak berani mempergunakan piranti ini untuk urusan masak-memasak, di samping karena harga gas LPG per-tabung mereka anggap masih tinggi. Banyak sekali masyarakat di pedesaan yang masih awam dan grogi menggunakannya. Mereka khawatir terjadi kebakaran seperti banyak kasus yang diberitakan media elektronik akibat kompor gas yang meledak.
Pendistribusian kompor elpiji yang dilakukan oleh 3 rekanan Pertamina yakni PT Intermedia Grafika, PT Spectra dan PT Pos Indonesia sudah mencapai 70% dari cacah RT yang ada hingga jumlah keseluruhan yang memperoleh mencapai lebih dari 153 ribu RTS. Pendistribusian dilaksanakan dalam satu paket, terdiri dari kompor, tabung gas plus isi, regulator dan selang secara bersama-sama dan tidak bertahap. Namun, hasil telusur pada beberapa agen elpiji di Kecamatan Karangan, Dongko, Pule, Panggul, Kampak dan Watulimo, menunjukkan mereka rata-rata setiap hari hanya melayani 7 tabung, ini tidak sebanding dengan jumlah kompor gas yang telah dibagikan oleh pemerintah. Menurut Sumadi (35), agen Elpiji di Dongko, masyarakat nampaknya masih enggan memakai elpiji, karena khawatir dan waswas. “Mereka masih menggunakan mitan dan kayu bakar. Bila mitan sulit ditemukan seperti sekarang, maka mereka mencari kayu bakar di lereng-lereng bukit,” katanya.
Sementara itu, para Kepala Desa yang warganya telah menerima kompor gas, mengatakan bahwa sosialisasi penggunaan kompor sangat minim, dan kesadaran warga belum memadai. “Kami hanya diberi tempo 5 hari untuk mendata RTS, dan selanjutnya tanpa ada sosialisasi ke masyarakat, seminggu kemudian dropping kompor datang” kata Sururi (31), Kades Sukowetan, Kecamatan Karangan.
Dengan makin langkanya mitan, akan berdampak kembalinya mereka “menyerbu” hutan di lereng-lereng bukit untuk mencari kayu bakar. Karena hasil telusur menunjukkan bahwa banyak warga RTS enggan mempergunakan elpiji, bahkan ada yang telah menjual jatah elpijinya dengan harga Rp.100 ribu. “Lah wong saya gak bisa pakainya, Mas, jadi ya saya jual aja. Saya biasa pakai pawonan,” kata bu Sominah (41) dari Dongko. Ibu tiga anak ini mengaku, bahwa banyak tetangganya yang juga tetap pakai pawonan. Apalagi pada saat mitan melonjak dari Rp. 7 ribu menjadi Rp. 10 ribu per-liter, seperti sekarang ini.(Haz).
0 Komentar:
Posting Komentar
Bila Anda suka dengan entry blog ini, sudilah menuliskan komentar di sini.
Terimakasih.