Jumat, 4 September 2009 | 03:19 WIB
Jakarta, Kompas -
Penilaian itu disampaikan Koalisi Gerakan Tuntut Pengembalian Tunjangan (Gugat), yang terdiri dari Indonesia Budget Center (IBC), Initiative Institute, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Transparency International Indonesia (TII), Kamis (3/9) di Jakarta. Mereka mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur Menteri Dalam Negeri Mardiyanto karena surat edaran (SE) itu dipandang melampaui kewenangannya dan mengantarkan Presiden pada posisi yang berbahaya.
Pada 18 Agustus 2009, Mendagri mengeluarkan SE kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Inti SE Nomor 555/3032/SJ yang ditandatangani Mardiyanto adalah untuk membatalkan ketentuan dalam SE yang dikeluarkan sebelumnya, Nomor 700/08/SJ tertanggal 5 januari 2009.
Fahmi Badoh dari ICW membeberkan isi SE Mendagri Nomor 700/08/SJ poin 3 yang menyebutkan, Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2007 dan Peraturan Mendagri Nomor 21 Tahun 2007, pimpinan dan anggota DPRD yang belum juga melunasi penyelesaian pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Bantuan Penunjang Operasional (BPO) akan dilimpahkan ke aparat penegak hukum.
”Hingga kini banyak anggota DPRD yang belum mengembalikan dana TKI dan BPO ini. PP No 21/2007 mensyaratkan pengembalian paling lambat satu bulan menjelang habis masa jabatan. Jika tidak, anggota DPRD yang belum mengembalikan akan dikenai sanksi pidana. Tetapi, justru di SE Mendagri No 555/2009, sanksi pidana ditiadakan. Ini pelanggaran hukum karena tidak menempatkan SE semestinya,” kata Fahmi.
Fahmi mengatakan, SE Mendagri itu melanggar PP No 21/2007, Permendagri No 21/2007, dan UU No 10/2004. ”SE Mendagri tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti dimaksud UU No 10/2004. SE tidak punya kekuatan hukum, apalagi jika melanggar aturan hukum di atasnya,” jelasnya.
Arif Nur Alam dari IBC menjelaskan, SE Mendagri No 555/2009 bisa mengakibatkan negara mengalami kerugian. ”Setiap tahun negara dirugikan Rp 1,4 triliun. Kalau selama tiga tahun, negara rugi Rp 5,84 triliun. Ini legalisasi korupsi dan berpotensi membuat kerugian negara yang sangat besar,” kata dia.
Arif dan Fahmi mencurigai ada tekanan politik di balik keluarnya SE Mendagri No 555/2009. ”Kami mendengar kabar, DPRD melakukan tekanan politik ke Presiden,” kata Fahmi.
0 Komentar:
Posting Komentar
Bila Anda suka dengan entry blog ini, sudilah menuliskan komentar di sini.
Terimakasih.