Rabu, 9 September 2009 | 05:24 WIB
Febri Diansyah
Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi justru dimulai dengan kontroversi (25-29/8).
Persidangan yang tertutup, pemilihan lokasi agar jauh dari mata publik, dan perdebatan ”tak perlu” kian menumbuhkan keraguan publik. Padahal, jika RUU ini tidak berhasil disetujui DPR, lengkaplah catatan kelam lembaga ini. Sementara, waktu amat sempit. Masa tugas DPR akan berakhir 30 September 2009.
Legislator ortodoks
Ulah DPR ini bukan kali pertama. Istilah yang tepat mengacu pembentukan produk hukum ortodoks, tepatnya saat suara masyarakat dianggap tidak ada atau dikesampingkan. Hal ini dapat dibaca dari rezim antitransparansi, ketertutupan dari akses publik, serta resistensi DPR terhadap kritik dan masukan.
Dalam terma lebih ekstrem, perilaku itu merupakan pengembangan l’etat c’est moi (negara adalah saya). Kekuasaan politik ortodoks di DPR dan pemerintah mendaku, kamilah pemilik negara, bukan Anda di jalanan.
Jika praktik ini dilakukan serampangan dan membentur putusan Mahkamah Konstitusi, level ortodoks mencapai kesempurnaannya. Fenomena ini terbaca saat sejumlah anggota DPR mengatakan hal yang bertentangan dengan perintah MK.
Dikatakan, pemeriksaan kasus korupsi dapat dilakukan di pengadilan umum. Jika DPR gagal menyelesaikan hingga akhir masa sidang, perppu penyelamatan pemberantasan korupsi tak perlu diterbitkan.
Pernyataan yang menyesatkan itu berlawanan dengan putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/ 2006. MK justru menegaskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) konstitusional. Argumentasinya berangkat dari dualisme pemeriksaan kasus korupsi di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, ke depan seharusnya hanya ada satu lembaga peradilan. MK menulis dengan bahasa amat jelas bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya lembaga yang boleh memproses kasus korupsi. Karena itu, MK lalu memerintahkan DPR dan presiden menyusun UU Pengadilan Tipikor secara terpisah dari UU KPK.
Dengan kata lain, putusan itu sebenarnya meneguhkan tafsir konstitusionalitas MK yang lebih memilih ”membuang” kewenangan pengadilan umum. Lantas, bagaimana mungkin DPR boleh melecehkan putusan MK?
Hakim ”ad hoc”
Selain pengadilan umum, salah satu titik krusial RUU yang ingin dirusak adalah hakim ad hoc. Padahal, komposisi hakim ad hoc yang lebih dominan merupakan upaya nyata menempatkan masyarakat nonyudisial dalam peradilan secara langsung.
Kehendak di balik internalisasi hakim ad hoc itu adalah penempatan nilai ”keadilan sosial” dalam institusi peradilan konvensional yang telah rapuh. Sebab, ketidakpercayaan publik terhadap kinerja hakim karier selama ini tentu tak bisa diperbaiki dalam waktu semalam.
MA boleh-boleh saja mengatakan telah menyelenggarakan pendidikan hakim karier khusus korupsi. Namun, fakta di sejumlah pengadilan tetap menunjukkan potret sebaliknya. Bagaimana MA bisa jelaskan ratusan terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas/ lepas dari tahun ke tahun? Jika di satu sisi MA bicara komitmen pemberantasan korupsi, di sisi lain vonis bebas/lepas dijatuhkan untuk 812 dari 1.643 terdakwa korupsi dari tahun 2005-Juli 2009. Bahkan, terobosan hukum yang menyesatkan pun sering dilakukan. Vonis percobaan dan hukuman di bawah satu tahun merupakan contoh nyata.
Paradoks inilah yang tak mampu dijawab MA atau hakim mana pun. Karena itu, perang terhadap korupsi membutuhkan keluarbiasaan yang sistematis (systematic extraordinary). Solusi terhadap rendahnya kepercayaan publik adalah dengan melakukan penyegaran dan internalisasi nilai melalui perubahan aktor penentu keputusan. Hakim ad hoc yang dominan merupakan jawaban paling masuk akal. Untuk meminimalkan potensi hakim bermasalah, maka proses seleksi yang terbuka, tidak sepenuhnya ditentukan MA, melibatkan andil publik menjadi keniscayaan.
Persoalan hakim ad hoc ini pun bukan hal baru. Beberapa lembaga pengadilan khusus telah jauh- jauh hari menerapkannya. Misalnya, Pengadilan Anak, Niaga, HAM, Pajak dan Pengadilan Hubungan Industrial. Jika MA ingin melihat lebih positif dan tidak resisten dengan ”darah baru” di institusinya, sebenarnya keberadaan hakim ad hoc justru akan meringankan tugas penegakan hukum. Kecuali, para hakim menganggap proses pemeriksaan di persidangan, khususnya korupsi, merupakan lapak/jualan yang memberi keuntungan pribadi. Karena itu, jika ditangani ”orang luar”, status quo akan mengalami kerugian. Paradigma ini merupakan cacat mendasar kekuasaan yudisial.
Jika dicermati, keberadaan hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor justru menepis banyak teori dan persepsi tentang mafia peradilan. ICW pernah melakukan riset sistematis tentang modus judicial corruption yang terjadi hingga tahun 2002. Ditemukan setidaknya enam karakter utama praktik korupsi di sektor yudisial ini. Mulai dari pemerasan oleh hakim, tawaran suap, majelis favorit, pengaburan administrasi perkara, surat sakti, hingga pemanfaatan advokat tertentu sebagai makelar. Potret hitam dunia peradilan inilah yang ternyata mampu dipatahkan Pengadilan Tipikor. Dari pertama kali terbentuk, belum sekalipun ada isu suap terhadap hakim. Dan, tak satu pun koruptor bisa meloloskan diri.
Fenomena tahun 2002 itu ternyata masih berlangsung hingga kini. Pusat Studi Anti (PuKAt) Korupsi FHUGM telah meluncurkan buku Robohnya Pengadilan Kami. Terbukti, modus judicial corruption bukan hanya masih eksis, tetapi berkembang dan terus tumbuh. Tesisnya, mafia peradilan masih tumbuh dan menjalar di pengadilan umum.
Sastrawan AA Navis pernah menulis Robohnya Surau Kami (November 1986). Seperti surau, Pengadilan Tipikor juga tak boleh roboh, baik dalam arti benar-benar dimatikan atau sekadar ada secara formal tetapi kehilangan substansi. Jangan coba-coba robohkan pengadilan kami, tuan koruptor.
Persidangan yang tertutup, pemilihan lokasi agar jauh dari mata publik, dan perdebatan ”tak perlu” kian menumbuhkan keraguan publik. Padahal, jika RUU ini tidak berhasil disetujui DPR, lengkaplah catatan kelam lembaga ini. Sementara, waktu amat sempit. Masa tugas DPR akan berakhir 30 September 2009.
Legislator ortodoks
Ulah DPR ini bukan kali pertama. Istilah yang tepat mengacu pembentukan produk hukum ortodoks, tepatnya saat suara masyarakat dianggap tidak ada atau dikesampingkan. Hal ini dapat dibaca dari rezim antitransparansi, ketertutupan dari akses publik, serta resistensi DPR terhadap kritik dan masukan.
Dalam terma lebih ekstrem, perilaku itu merupakan pengembangan l’etat c’est moi (negara adalah saya). Kekuasaan politik ortodoks di DPR dan pemerintah mendaku, kamilah pemilik negara, bukan Anda di jalanan.
Jika praktik ini dilakukan serampangan dan membentur putusan Mahkamah Konstitusi, level ortodoks mencapai kesempurnaannya. Fenomena ini terbaca saat sejumlah anggota DPR mengatakan hal yang bertentangan dengan perintah MK.
Dikatakan, pemeriksaan kasus korupsi dapat dilakukan di pengadilan umum. Jika DPR gagal menyelesaikan hingga akhir masa sidang, perppu penyelamatan pemberantasan korupsi tak perlu diterbitkan.
Pernyataan yang menyesatkan itu berlawanan dengan putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/ 2006. MK justru menegaskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) konstitusional. Argumentasinya berangkat dari dualisme pemeriksaan kasus korupsi di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, ke depan seharusnya hanya ada satu lembaga peradilan. MK menulis dengan bahasa amat jelas bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya lembaga yang boleh memproses kasus korupsi. Karena itu, MK lalu memerintahkan DPR dan presiden menyusun UU Pengadilan Tipikor secara terpisah dari UU KPK.
Dengan kata lain, putusan itu sebenarnya meneguhkan tafsir konstitusionalitas MK yang lebih memilih ”membuang” kewenangan pengadilan umum. Lantas, bagaimana mungkin DPR boleh melecehkan putusan MK?
Hakim ”ad hoc”
Selain pengadilan umum, salah satu titik krusial RUU yang ingin dirusak adalah hakim ad hoc. Padahal, komposisi hakim ad hoc yang lebih dominan merupakan upaya nyata menempatkan masyarakat nonyudisial dalam peradilan secara langsung.
Kehendak di balik internalisasi hakim ad hoc itu adalah penempatan nilai ”keadilan sosial” dalam institusi peradilan konvensional yang telah rapuh. Sebab, ketidakpercayaan publik terhadap kinerja hakim karier selama ini tentu tak bisa diperbaiki dalam waktu semalam.
MA boleh-boleh saja mengatakan telah menyelenggarakan pendidikan hakim karier khusus korupsi. Namun, fakta di sejumlah pengadilan tetap menunjukkan potret sebaliknya. Bagaimana MA bisa jelaskan ratusan terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas/ lepas dari tahun ke tahun? Jika di satu sisi MA bicara komitmen pemberantasan korupsi, di sisi lain vonis bebas/lepas dijatuhkan untuk 812 dari 1.643 terdakwa korupsi dari tahun 2005-Juli 2009. Bahkan, terobosan hukum yang menyesatkan pun sering dilakukan. Vonis percobaan dan hukuman di bawah satu tahun merupakan contoh nyata.
Paradoks inilah yang tak mampu dijawab MA atau hakim mana pun. Karena itu, perang terhadap korupsi membutuhkan keluarbiasaan yang sistematis (systematic extraordinary). Solusi terhadap rendahnya kepercayaan publik adalah dengan melakukan penyegaran dan internalisasi nilai melalui perubahan aktor penentu keputusan. Hakim ad hoc yang dominan merupakan jawaban paling masuk akal. Untuk meminimalkan potensi hakim bermasalah, maka proses seleksi yang terbuka, tidak sepenuhnya ditentukan MA, melibatkan andil publik menjadi keniscayaan.
Persoalan hakim ad hoc ini pun bukan hal baru. Beberapa lembaga pengadilan khusus telah jauh- jauh hari menerapkannya. Misalnya, Pengadilan Anak, Niaga, HAM, Pajak dan Pengadilan Hubungan Industrial. Jika MA ingin melihat lebih positif dan tidak resisten dengan ”darah baru” di institusinya, sebenarnya keberadaan hakim ad hoc justru akan meringankan tugas penegakan hukum. Kecuali, para hakim menganggap proses pemeriksaan di persidangan, khususnya korupsi, merupakan lapak/jualan yang memberi keuntungan pribadi. Karena itu, jika ditangani ”orang luar”, status quo akan mengalami kerugian. Paradigma ini merupakan cacat mendasar kekuasaan yudisial.
Jika dicermati, keberadaan hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor justru menepis banyak teori dan persepsi tentang mafia peradilan. ICW pernah melakukan riset sistematis tentang modus judicial corruption yang terjadi hingga tahun 2002. Ditemukan setidaknya enam karakter utama praktik korupsi di sektor yudisial ini. Mulai dari pemerasan oleh hakim, tawaran suap, majelis favorit, pengaburan administrasi perkara, surat sakti, hingga pemanfaatan advokat tertentu sebagai makelar. Potret hitam dunia peradilan inilah yang ternyata mampu dipatahkan Pengadilan Tipikor. Dari pertama kali terbentuk, belum sekalipun ada isu suap terhadap hakim. Dan, tak satu pun koruptor bisa meloloskan diri.
Fenomena tahun 2002 itu ternyata masih berlangsung hingga kini. Pusat Studi Anti (PuKAt) Korupsi FHUGM telah meluncurkan buku Robohnya Pengadilan Kami. Terbukti, modus judicial corruption bukan hanya masih eksis, tetapi berkembang dan terus tumbuh. Tesisnya, mafia peradilan masih tumbuh dan menjalar di pengadilan umum.
Sastrawan AA Navis pernah menulis Robohnya Surau Kami (November 1986). Seperti surau, Pengadilan Tipikor juga tak boleh roboh, baik dalam arti benar-benar dimatikan atau sekadar ada secara formal tetapi kehilangan substansi. Jangan coba-coba robohkan pengadilan kami, tuan koruptor.
Febri Diansyah Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW
0 Komentar:
Posting Komentar
Bila Anda suka dengan entry blog ini, sudilah menuliskan komentar di sini.
Terimakasih.