> Mencari Akar Teror Berada di Masyarakat | Prigibeach Trenggalek

Mencari Akar Teror Berada di Masyarakat

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas menjaga lokasi penggerebekan rumah milik Djahri di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (8/8). Sejumlah pelaku terorisme tertangkap di Jateng.

KEINDONESIAAN JAWA TENGAH/DI YOGYAKARTA (3)
Mencari Akar Teror Berada di Masyarakat

Kamis, 5 November 2009 | 03:21 WIB

Oleh Susana Rita/Sonya Hellen Sinombor

Jejak-jejak kekerasan masih terlihat di rumah yang pernah dikontrak almarhum Wahyu Susilo dan Putri Munawaroh, tersangka kasus terorisme, di Solo saat Kompas berkunjung akhir Oktober lalu. Temboknya berlubang di sana-sini. Tiang-tiang yang menjadi penyangga teras rumah itu sudah tak utuh lagi.

Beberapa tukang sibuk menutup lubang-lubang itu. Maklum, jumlah kerusakan cukup banyak akibat berondongan senjata serta beberapa ledakan pada 17 September lalu. Hari ketika buron kasus terorisme Nurdin M Top dilumpuhkan di Dusun Kepuhsari, Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Solo.

Akhir Oktober lalu perbaikan rumah hampir selesai. ”Sudah 80 persen,” ujar seorang petugas polisi yang berjaga di depan rumah itu.

Kerusakan akibat ledakan sudah diperbaiki. Atap rumah yang semula ambrol sudah terpasang rapi. Tembok, pintu, dan kamar mandi tempat mayat tersangka ditemukan sudah dibenahi. ”Setelah selesai, rumah akan diserahkan kembali ke pemiliknya,” ujar polisi itu.

Meski bekas peristiwa penyergapan hampir tak tampak lagi, hal itu tidak menyurutkan keinginan sejumlah orang untuk melihat langsung lokasi terbunuhnya gembong teroris asal Malaysia itu.

Petunjuk yang mempermudah pencarian rumah pun masih terpasang. Setidaknya hal itu terlihat ketika akan memasuki kawasan perkampungan. Sebuah poster hitam bertuliskan ”Lokasi Tewasnya Nurdin M Top” dan spanduk besar ”Berantas Terorisme” terbentang tepat di atas jalan menuju perkampungan.

Meski penggerebekan terjadi sebulan lewat, rumah itu masih menarik perhatian. Lina, warga setempat, menjelaskan, setiap akhir pekan ada saja pendatang dari luar kota yang muncul di kampung itu.

”Umumnya mereka sedang berada di Solo untuk suatu urusan, lalu menyempatkan diri datang ke sini. Ada yang dari Sumatera, Jakarta, dan kota lainnya,” ujarnya.

Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Solo, hanyalah satu dari rentetan penggerebekan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di wilayah Jawa Tengah. Sebelumnya, penggerebekan sudah dilakukan di Kabupaten Wonosobo, Temanggung, dan Cilacap (Jateng). Akhir Desember 2007 anggota jaringan teroris, Abu Dujana alias Yusron Mahfudi, pun ditangkap di Jateng bagian selatan, di Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas.

Drama penggerebekan dengan latar belakang kehidupan pedesaan di Jateng selatan menghiasi layar kaca stasiun televisi nasional ataupun internasional selama beberapa waktu.

Rentetan peristiwa yang memunculkan kesan wilayah Jateng selatan adalah lahan subur bagi tumbuhnya radikalisme dan terorisme. Pertanyaannya, apakah wilayah itu memiliki akar kekerasan? Kalau tidak, kapan radikalisme menyusup di wilayah itu?

Pertanyaan itu menggelitik rasa ingin tahu. Terkait dengan hal itu, Kompas bertemu dengan budayawan Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto), pengamat militer MT Arifin, Hairus Salim dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial, dan Noor Huda Ismail dari International Institute for Peacebuilding.

Beragama yang kuat

MT Arifin menjawab secara tegas, daerah Solo dan kota-kota di Jateng selatan lainnya tidak memiliki fenomena terorisme. Ia lebih sepakat, tersangka terorisme yang tertangkap di wilayah itu merupakan bagian dari pengaruh politik internasional. Ide seperti Islam radikal tidak pernah ada dalam masyarakat.

Hairus Salim menguraikan mengenai awal mula terbentuknya jaringan dengan dunia Islam di Timur Tengah yang dimulai pada 1920-an. Pengiriman mahasiswa ke Timur Tengah sudah mulai dilakukan, hanya pada zaman Soeharto mereka tak dapat kesempatan untuk unjuk gigi. Gerakan mereka hanya berkembang di bidang dakwah dan pendidikan.

Menurut Hairus, jaringan kelompok itu sebenarnya terbentuk puluhan tahun. Semula berbasis di kampus, kemudian melebarkan sayap di kalangan urban, buruh, pegawai, dan petani. ”Mereka mengeras belakangan ini, sekitar 10 tahun terakhir,” kata dia.

Mengenai alasan sejumlah orang masuk dalam lingkaran ini, Hairus melihat lebih karena adanya kecenderungan beragama yang teramat kuat di masyarakat. Namun, ada beragam alternatif.

”Agama itu seperti sebuah supermarket, menawarkan banyak pilihan. Anda mau menjadi apa. Setiap pilihan ada hal yang meragukan, ada pula yang menawarkan kepastian. Kelompok ini saya kira sangat kuat menawarkan kepastian,” katanya.

Khusus di Solo, Bandung Mawardi dari Kabut Institut (Solo) berpendapat, perkembangan jaringan kelompok radikal itu juga dipengaruhi memudarnya pesona dan daya magis Keraton Surakarta pada rakyatnya. Masyarakat mencari alternatif orientasi spiritualisme yang semula dicukupi Keraton.

Ditambahkan lagi, kata dia, adanya kerenggangan hubungan antara pihak Keraton dan pemuka agama. Akibatnya, Keraton tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol perkembangan pengajaran agama dan gerakan yang ada di bawah.

Kondisi ini agak berbeda dengan Yogyakarta. Noor Huda menjelaskan, Kesultanan Yogyakarta yang masih memegang teguh tradisi, misalnya, dilanggengkannya pertemuan antara Sultan dan rakyat lewat berbagai rembuk yang dilakukan.

Selain itu, Noor Huda juga menjelaskan adanya pengaruh situasi sosial keagamaan. Wilayah Jateng selatan tidak memiliki struktur sosial keagamaan yang kuat sehingga mengakibatkan masyarakat yang sebenarnya memiliki hasrat yang kuat untuk beragama lari kepada kelompok yang menawarkan berbagai alternatif.

Nahdlatul Utama (NU) dan Muhammadiyah tidak memiliki basis yang kuat. Tidak ada pula tokoh Muhammadiyah dan NU yang dapat memiliki pengaruh kuat di wilayah itu.

Pemikir yang merdeka

Khusus untuk Solo, MT Arifin memiliki penjelasan tersendiri mengapa kota ini unik dan cukup dekat dengan aksi kekerasan. Hal ini berkaitan dengan karakter berpikir orang Solo yang radiks (akar/sumber). Sejak awal Solo memang pusat orang berpikir kritis dan radikal sehingga hal ini mengakibatkan sebaran yang merata antara kelompok kiri, kanan, dan tengah.

”Ada macam-macam di sini. Komunis juga ada di sini. Yang namanya tokoh Islam utama dan fundamentalis juga ada di Solo,” ujar dia.

Ia mencontohkan tokoh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) Sukiman, tokoh Jong Java Satiman, dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, yang meski lahir dari luar Jawa, menjadi wakil parlemen dari Solo.

”Dulu Surakarta merupakan pusat ibu kota. Pemikir bebas kebanyakan lahir di Kota Solo. Ada Ronggowarsito, Yosodipuro, dan lainnya. Masyarakat Solo cara pikirnya memang radiks, baik secara kultural maupun politik. Tidak cuma di tingkat elite, tetapi juga masyarakat,” ujar MT Arifin lagi.

Dengan kondisi semacam ini, tidak mengherankan jika kemudian ada pemikiran kritis mengenai Pancasila dan asas tunggal pada zaman Orde Baru. Pemikiran itu, antara lain, dikemukakan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo.

Apa solusi yang dapat ditawarkan? Aktivis Bandung Mawardi menawarkan kekuatan kultural, misalnya dengan menonjolkan identitas kultural dibandingkan identitas keagamaan (baca islami). Landasan kebudayaan akan memperhalus dan memperlembut manusia.

Namun, Mbah Prapto mengingatkan tentang Bhinneka Tunggal Ika. Ia menawarkan alternatif pengembangan kebudayaan desa yang menjunjung tinggi harmoni, ekologi, silaturahim, dan kejujuran.

0 Komentar:

Posting Komentar

Bila Anda suka dengan entry blog ini, sudilah menuliskan komentar di sini.
Terimakasih.